Jumat, 10 Januari 2020

Aku Masih Manusia - Chapter 1

Nakroth – The Executioner’s Blade

(Arena of Valor fanfiction)


https://wall.alphacoders.com/big.php?i=129281


Keluar dari terowongan ini, aku menghirup udara yang segar. Tidak ku dengar teriakan arwah yang berdosa, hanya hembusan angin dan pemandangan dari reruntuhan perang. Semoga semua manusia yang berdosa mengenal siapa Nakroth, perbuatan jahat mereka tidak akan ku ampuni begitu saja. Pengampunan hanya akan membuat segalanya menjadi lemah.

“Nakroth, bila kita sudah sampai di Hutan Verno, kita harus berhati-hati dengan seekor bunglon yang bisa memata-matai kita,” saran Zephys.
“Akan lebih baik bila kita tidak menggunakan keahlian kita terlalu sering meski hal ini membuat perjalanan agak lama,”
“Selain itu, si bunglon juga memiliki teman sebuah pohon yang bisa bergerak. Jika terjadi pertarungan, mungkin kita kabur saja agar tidak disangka serangan mendadak oleh Lokheim dan terjadi perang besar,”
“Diamlah! Aku ada rencana,” hardikku.
“Tunjukkan rencana itu padaku!”
“Apa bisa nanti saja saat kita sudah sampai di sana?”
“Dibalik topeng itu pasti wajahmu memerah karena malu mengakui kalau rencanamu di Hutan Verno adalah tidak ada, hah!” cerca Zephys.

Dia benar, sekarang wajahku memerah karena aku ingin menghajarnya sekarang. Andai nanti aku melewati Danau Elborne dan melihat pohon kehidupan, aku mungkin berkata “Yggdrassil memberiku kesabaran”. Namun, tentang bunglon itu aku baru mengetahuinya dan artinya bunglon itu tidak mengenaliku.

Dataran Moonlit, aku dan Zephys sudah memasuki wilayah Kerajaan Afata. Kemungkinan kita akan bertemu dengan adik Luna yang pastinya menyimpan dendam pada Mganga. Tanpa kekacauan, jadi sebisa mungkin kita tidak bertemu dengan dia. Sesekali aku melompat di atas dahan pohon agar aku cepat sampai tujuan. Hanya sesekali.

Zephys berteriak, “Nakroth! Bisa tidak kau berhenti melompat-lompat?”
“Ada apa memangnya?” tanyaku.
“Iya.. iya.. aku ini berat dan bisa saja dahan itu patah bila aku naik di atasnya, jadi turunlah dan jangan pergi sendirian!”
Aku turun menggunakan senjataku, “Sekarang kau ingin apa?” Zephys hanya terdiam, apa dia melamun?
“Hei, aku berbicara padamu!” ujarku.
“Sshh..!” desisnya, dia mengangkat kedua tombaknya.
Seketika aku juga siaga dan melihat sekitar, mendengar suara aneh. Aku melihat sesuatu yang melintas di dahan pohon, “Siapa itu!?” bentakku.
“Ah! Ada yang melempari aku dengan batu,” pekik Zephys, “Ayolah keluar saja kami tidak akan menyakitimu dan katakan apa yang kau inginkan!”

Sebuah jejak dan membakar tanah dengan api kebiruan melintas cepat di depan mereka, dengan lincah mereka menghindar. Muncul seekor rubah yang dengan santainya memainkan ketapel sambil tersenyum. Zephys mencoba berbicara dengannya.
“Apa yang kau inginkan, rubah?”
“Hmm..” gumam rubah itu, “Sebenarnya aku akan mencuri uang kalian, tetapi aku lihat kalian tidak punya uang melainkan senjata yang mengerikan. Kalian dari mana?”
Zephys menjawab, “Kami dari –“
“‒ Bodrene,” ku penggal ucapan Zephys.
“Di sana tidak ada pepohonan seperti ini jadi kita ingin menikmati udara hutan yang menyegarkan. Kami lelah berlatih dan ingin beristirahat di sini,” lanjutku.
“Sudah ku duga! Kalau begitu, aku tidak ingin mengganggu kalian dan mati konyol, hahaha! Omong-omong suaramu mengerikan, dah!” Si rubah pergi dengan cepat.
Zephys terheran, “Hanya seperti itu?”
Aku bergerak melanjutkan perjalanan meninggalkan Zephys yang tertawa, “Haha! Sejenak kita bebaskan beban pikiran.”

Masih di Dataran Moonlit dan ini sudah malam. Di sebuah lapangan terbuka, aku melihat sebuah menara tinggi yang dapat menembakkan cahaya. Di dekatnya ada tanaman hijau dengan partikel cahaya keluar dari tiap daunnya. Tanaman legendaris yang bisa menyembuhkan segala luka dengan cepat dan mengembalikan stamina hanya dengan satu gigitan pada daunnya. Namun, bila ada satu daun yang dipetik, maka dia redup dan menjadi tanaman biasa. Akan tetapi, tanaman itu kembali bercahaya di keesokan harinya, di jam yang sama seperti kapan ia dipetik. Selain itu, daun yang dipetik juga harus segera dimakan atau ia akan layu dan tidak berguna. Afata begitu indah pada dasarnya, baguslah bila penghuninya bukan manusia lancang yang akan merusak segalanya.

“Zephys, apa kau terluka?” tanyaku.
“Hanya luka kecil di kepalaku karena rubah tadi.”
Aku berencana untuk mengambil sehelai daun itu, “Tunggu di sini, jaga kedua senjataku, dan pegang helmku!” perintahku.
“Kenapa kau melepas helm dan mau kemana kau?” tanya dia.
“Untuk antisipasi menara itu menyerangku karena dengan topeng itu aku tidak terlihat seperti manusia. Aku ingin mengambil daun itu.”
“Kau manusia, tapi berbau iblis. Wajar saja kalau kau terkena serangan nantinya. Aku baik-baik saja, kau tidak perlu pergi ke sana untuk mengambil daun itu! Kau bilang jangan sampai ada kekacauan.”
“Duduk, diam, dan lihatlah, Grimreaper!” teriakku seraya pergi ke arah tanaman itu.
“Matamu!”

Ujung menaranya sempat bersinar, tetapi tidak menyerangku. Segera ku bergegas memetik sehelai daun itu dan membawanya kepada Zephys. Aku kira akan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, menara itu juga cukup tinggi dan akan membawa perhatian dari jarak yang jauh bila menembakkan cahayanya. “Cepat makan ini!” perintahku. Kita beristirahat sejenak, memejamkan mata tapi tetap terjaga. Setelah keluar dari Dataran Moonlit, kita akan sampai di Sungai Merah untuk mendapatkan batu rubinya.


Sungai Merah, membawa mineral yang begitu banyak sehingga membuatnya berwarna merah. Memasuki wilayah Federasi Merdeka, maka akan ada banyak manusia yang mungkin saja mengenalku karena pasukanku di masa lampau. Tentu saja Zephys juga terkenal di kalangan manusia karena kekonyolannya membawa kelelawar dari dunia lain dan akhirnya kelelawar itu membawa teman untuk mengejarnya. Misi ini harus selesai tanpa kekacauan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar