Tahun ini, tidak terasa aku sudah dua tahun duduk manis di bangku
SMA Negeri, parahnya aku di jurusan IPA. Ibuku yang menyuruh melakukan ini.
Ketahuilah, aku sangat ingin pindah setidaknya dari jurusan ini. Dua
matematika, wajib dan peminatan. Apa yang aku lakukan selama delapan jam di
sekolah hanya membuang waktu. Lebih baik aku modifikasi sepeda motorku seperti
yang aku suka.
"Ardham..?"
"Saya hadir, Bu!"
Melakukan ini lima hari dalam
seminggu, tidak ada gunanya. Kecuali hari Rabu, di mana ekstrakulikuler
multimedia diadakan setelah pulang sekolah, aku bisa membuat stiker untuk
sepedaku. Bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, duduk di dalam kelas dan
mendengarkan teori. Aku sangat bosan, melakukannya sejak usiaku tujuh tahun.
Namun ibuku sangat bangga. Jika ibuku adalah teman, aku akan bilang,
"Tahun berapa ini!?"
Ibuku bilang, "Kamu harus
masuk SMA, kalau kamu masuk SMK gak bisa
kuliah jadi dokter!"
Dalam hatiku bilang, "Siapa yang mau jadi dokter!?" Sudahlah,
itu hanya masa lalu. Aku harus hadapi hidupku yang sekarang.
Hari ini adalah Senin. Delapan jam
ku tersita untuk mendengar teori yang tidak menarik. Nilaiku juga nge-press KKM atau lebih tinggi
sedikit. Aku heran, sampai sekarang pendidikan tidak berubah. Ku ingat saat
pengenalan sekolah, guru mengatakan kalau melakukan hal yang tak disukai adalah
sia-sia.
"Tugas praktek untuk dua
minggu ke depan, buatlah kelompok yang isinya lima sampai enam orang untuk
membuat tape singkong. Jangan lupa difoto prosesnya dan dibuat makalah!"
perintah guru biologi.
Pelajaran pertama, mata pelajaran
biologi berakhir dengan tugas masak-masakan. Ku lihat sekitar, aku melihat
reaksi wajah yang berbeda-beda. Beberapa orang begitu semangat, ada juga yang
diam pasrah, bahkan ada yang mengumpat dan tidak mau mengerjakannya. Mungkin
aku salah satu dari murid yang pasrah.
"Kamu kelompoknya
siapa?" tanyaku kepada temanku. Dia Randy.
"Belum ada, aku males,"
jawabnya.
Aku mengajaknya bergabung
bersamaku dan teman sebangkuku, "Sama aku dan Andro, yuk!"
"Yaudah, aku sama kamu. Tapi
aku males buatnya, enak ngedit video
di rumah daripada ngerjain gini.
Aku screenshot dari youtube saja. Kamu beli sama anak-anak
lain tape yang udah jadi.
Gurunya dah tua juga, jadi gak
bakal tahu kalau ini ambil dari youtube."
Kemudian, 'Pendongeng' datang. Dia
meminta untuk bergabung dengan kelompok kami. Mungkin murid lain akan datang
untuk ikut dalam kelompok yang serba instan ini.
Dia menyahut, "Aku dengar
kalian omong-omongan tadi, kalian pake cara cepat. Mending aku selesaikan lomba
cerpenku agar gak pas deadline mengirimnya."
Aku rasa, murid yang punya
semangat membuat tape singkong ini semuanya wanita. Tentunya bergabung jadi
satu, hanya satu kelompok dengan lima orang. Beberapa siswa melihat ke arahku,
lalu berbisik-bisik. Aku yakin mereka akan masuk ke kelompokku. Kalau kehabisan
slot ya sudah, itu urusan mereka. Wajah-wajah murid yang benci, sepertinya
mereka tidak mencari kelompok. Mungkin mereka akan melakukan cara yang sama
dengan kami, atau tidak mengerjakan, atau nanti akan mengulur waktu sampai
diberi tugas yang lebih mudah.
"Kalau bisa aku ingin lahir
di zaman Yunani Kuno dan jadi warga Yunani," keluhku.
Randy menjawabku, "Kenapa
memangnya?"
"Kalau suka musik ya belajar
musik, kalau suka menggambar ya belajar menggambar. Kan sekolah tujuannya untuk
mengasah bakat."
"Apakah mengedit video
membutuhkan singkong dan ragi? Konyol sekali ya, Dham?" ujarnya.
Randy bukan anak yang pasrah,
ternyata dia anak yang benci. Aku yakin dia masuk IPA karena diperintah orang
tuanya. Anak seperti ini kalau tidak diperbolehkan masuk SMK, pasti dia ingin
IPS. Akhirnya kelompokku berisi enam orang, di mana ada dua orang lagi yang
ingin ikut tapi terlambat daftar.
Pelajaran selanjutnya adalah
matematika peminatan. Guru datang dan mengajar seperti biasanya, lalu memberi
tugas mengerjakan LKS. Andro terlihat santai dengan kepala di atas meja. Aku
bertanya padanya, "Sudah selesai, Ndro?" Dia hanya diam saja, ku rasa
dia tidur. Sebagai teman sebangkunya, aku membangunkan Andro sebelum dia ter-cyduk oleh guru.
"Eh, Dham. Apaan?"
"Sudah selesai tugasnya?
Nanti dikumpulkan, lho!"
Dia menjawab, "Kan ini
matematika peminatan, kalau tidak minat ya ngapain dikerjakan?"
Dengan mudahnya dia mengatakan
itu. Baiklah, aku tadi berniat mengerjakannya. Saat ku lihat soalnya, aku jadi
malas mengerjakan karena aku tidak minat. Ucapannya sangat berpengaruh padaku
secepat ini.
"Aku minatnya sejarah, tapi
nilai UH-ku jelek kalau tidak menyontek. Sia-sia aku belajar. Kalau jawabanku
tidak sesuai dengan buku, ternyata nilainya dikurangin!" jelasnya.
Orang tua yang terobsesi dengan
jurusan IPA lagi atau gurunya tidak bisa mengajar, aku tidak mau tahu. Otakku
mulai panas, aku ingin segera pulang dan melanjutkan modifikasi sepedaku.
Tentang tape singkong, kami
mengulur waktu. Seminggu sebelum deadline,
kami mulai mengerjakan. Pulang sekolah, aku dan Pendongeng ke rumah Randy.
Membantunya untuk membuat makalah tentang pembuatan tape singkong. Andro dan
yang lain membeli tape singkong bagaimanapun caranya.
Aku ditelepon oleh Andro,
"Aku pesan online, katanya
datang tubin. Siap uang, ya! Urunan tiga ribu, harganya dua puluh tapi didiskon
jadi delapan belas."
"Oke, Ndro!" jawabku.
Kami mengerjakan tugas ini penuh
dengan kecurangan. Makalah copy-paste internet,
foto hasil screenshot, tape singkong
beli di toko online. Saat kami
mengumpulkan tidak heran hasilnya, aku tidak bangga dengan hasil seperti itu.
Menurutku, ini hanya tugas pembuang waktu.
"Ini enak, nilai kelompok
kalian paling bagus!" puji guru.
Para wanita yang mengerjakan
sungguh-sungguh, mereka tidak terima. Sontak mereka protes, "Ya iya, kan
mereka beli! Foto hasil screenshot juga,
kalau tidak percaya, saya bisa perlihatkan videonya!"
Salah seorang siswi menunjukkan
video yang Randy ambil di ponselnya. Guru terlihat marah, dia tidak menerima
tugas kami.
"Nilai kalian otomatis C
untuk semester ini. mentang-mentang kelas dua sudah begini!"
Aku begitu marah mendengar
keputusan itu. Aku harus bisa menahan ini, namun darahku sudah naik. Aku harus
mengatur kata-kata yang keluar dari mulutku ini agar tidak melewati batas.
"Hahah! Lima hari per minggu,
aku buang delapan jam waktuku."
Guru itu pun membalas, "Kalau
kamu saya laporkan karena berbicara seperti ini, kamu bisa tidak naik lho!" ancam guruku.
"Saya suka modifikasi
kendaraan, memangnya saya butuh ragi? Saya rasa tidak. Maaf ya, Bu saya berkata
seperti ini."
"Ini sudah keterlaluan, kamu
saya laporkan ke wali kelasmu!" ancamnya.
"Kalau masalah saya ngecheat seperti ini, saya sudah
sering, Bu. Jadi jujur itu tidak enak!"
Aku dan guru biologi itu berdebat.
Karena kejadian ini, aku dipanggil oleh guru bimbingan konseling. Aku berpikir,
sejak kapan aku menjadi seperti ini. Ku rasa sejak aku menemukan sesuatu yang
menarik, yaitu modifikasi kendaraan. Memberi stiker dan mengganti model ban,
aku suka melakukan itu. Mesin yang rusak, aku memperbaikinya.
Seekor ikan yang dipaksa menaiki
pohon, aku rasa itulah aku. Memang SMK tidak menjamin aku mendapat pekerjaan.
Seharusnya aku diam saja, mengikuti apa yang terjadi. Hobi dan minat hanyalah
omong kosong. Tidak peduli apa yang mereka lakukan terhadapku, suatu saat aku
akan mati dan semua yang ku lakukan di dunia ini sia-sia.
Keesokan harinya, aku tidak masuk
tanpa alasan. Aku malas mengikuti pelajaran di sekolah. Kelompokku dalam
pembuatan tape tidak marah denganku, menurut mereka itu bukan salahku. Namun
aku merasa bersalah, mungkin karena aku tidak bisa menahan amarahku. Ibuku
marah kepadaku, dia tidak berbicara padaku dan berusaha menjual sepeda motorku.
Karena sudah dimodifikasi, mereka yang ditawari tidak mau beli dengan alasan
takut rusak. Sepeda motorku selamat.
"Mau jadi tukang bengkel, ya
kamu!? Terus kalau sudah punya istri, kamu kasih makan apa?" bentak ibuku.
Tentunya aku tidak bisa menjawab,
tepatnya aku tidak berani menjawab. Aku harap, nanti tidak ada anak lain yang
sepertiku. Maksudku, tidak ada anak lain yang menjalani hidup dengan hal yang
tidak diminatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar