Nakroth – The Executioner’s Blade
(Arena of Valor fanfiction)
Kembali dari Pecci, Zephys yang sedang duduk santai seketika beranjak dan melihatku dengan muka masam. Ia melempar helm milikku, tentunya setelah ini dia akan mengerahkan semua tenaganya untuk memarahiku karena aku merasa cukup lama berada di Pecci.
“Kau ini lama sekali, hanya membuang waktu saja membiarkanmu pergi ke Pecci sendirian dan lihat itu semua! Apa yang kau bawa itu!? Kau juga membeli sekantung apel untuk apa?”
“Bacot!”
“Jadi kau menukarkan rubinya dengan hal-hal yang kurang berguna, sekarang mana serangganya?” lanjutnya.
Sudah ku duga. Ku keluarkan semua yang aku beli dari Pecci, segera ku pakai helm dan sabukku kembali. Membiarkan Zephys membawa serangganya sedangkan diriku yang membawa uang dan apelnya. Hanya sekotak kaca berisi dua serangga, apa susahnya dia membawa itu?
Perjalananku melewati Hutan Verno, namun tidak sampai masuk ke dalamnya. aku benar-benar merasa ada yang mengikuti kita jadi diriku tetap siaga. Tidak dengan Zephys yang bermain dengan serangga selama perjalanan. Tidak tahu apa isi pikirannya, dia berjalan lebih depan dariku. Sesekali ia menoleh, cahaya di matanya jelas menuju kepadaku.
“Apa?” tanyaku.
“Percuma kau membeli apel bila kau tidak memakannya, Nakroth,” tuturnya.
“Kau ingin satu?”
Dia berhenti berjalan, “Hehehe... Boleh?”
Diriku mengeluarkan sebuah apel yang masih segar untuk Zephys. Apelnya terasa hangat karena perjalanan panjang ini membuat suhu tubuhku meningkat. Saat aku memberikan apel ini padanya, apel itu lepas dari tanganku dan terbang ke atas pohon. Dikala buah itu bergerak, segera ku ikuti arahnya pergi. Aku melihatnya, bunglon itu. Dengan santai dia memakan apelnya, ku rasa dia hanya sendiri. Satu gigitan, bunglon itu sadar bahwa Zephys melihatnya dengan tatapan yang mengerikan. Sehingga dia kabur sambil berteriak.
“Nakroth, dia berisik! Kita harus membuatnya diam agar tidak membuat teman pohonnya datang dan melaporkan ini kepada para elf!”
Diriku memanggil si bunglon, “Hei, bunglon! Mau apel lagi?”
“Huh?” jawabnya.
Saat itu juga si bunglon muncul di depan mataku, “Siapa yang menolak apel seenak itu, tentu saja aku mau!”
“Dengan satu syarat,” imbuhku.
“Katakan saja, pasti aku bisa melakukannya karena.. uhh.. apel yang kau bawa itu terasa unik!”
“Jangan berisik! Bila teman pohonmu datang lalu bertanya mengapa kau berteriak, katakan saja kalau dirimu terjatuh dari pohon atau apa saja yang tidak menyangkut monster,” tegasku.
Dia menjawab, “Lagipula aku tidak mengenal siapa kalian dan yan ku pedulikan hanyalah apel itu. Aku berteriak karena temanmu itu menakutkan seolah-olah ingin mencabut nyawaku.”
“Uh.. Poin pentingnya, jangan ceritakan pada siapapun kehadiran kami. Kau boleh ambil semua apel yang ku bawa, setuju?” imbuhku sambil mengelus dada.
“Tentu saja aku setuju!” sorak bunglon itu.
Zephys terheran, “Kau tidak mau serangga?” tanya dia sambil menunjukkan kotak kacanya.
“Untuk apa? Lepaskan saja, aku tidak suka makan serangga. Kalau kau bawa buah-buahan yang lain, dengan senang hati aku terima,” jelas bunglon itu.
“Kalau begitu kami pergi, tepati janjimu!”
“Okkey!”
Ternyata sangat mudah bernegoisasi dengan bunglon kecil itu, aku kira dia akan selalu didampingi oleh teman pohonnya. Kita lanjutkan perjalanan menuju Diego karena bila melewati Hutan Verno lebih dalam lagi, kemungkinan besar akan bertemu dengan beberapa orang yang menjaga hutan dan loyal kepada Sang Ratu. Aku rasa Diego akan cukup sepi karena Kerajaan Okka sudah lama kehilangan pemimpinnya, sudah lama juga diriku tidak ke sana.
Zephys memandang serangga yang ia bawa, “Lalu serangga ini bagaimana?”
“Terserah!” jawabku.
“Sayang sekali, aku akan memberikannya kepada Mganga saja siapa tahu dia suka.”
Karena berjalan biasa akan memakan waktu lama, aku dan Zephys menggunakan keahlian dalam bergerak cepat. Air yang dinikmati warga Diego adalah es yang mencair dari gunung di sekitarnya. Untuk melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi di sana cukup sulit karena banyak kebun dan sawah. Tentunya tak ada pohon raksasa seperti di hutan. Tapi kemungkinan di sana tak ada penjagaan khusus, para pemuda pasti pindah ke tempat yang lebih padat seperti di Federasi Merdeka. Jika nantinya kita sampai di sana malam hari, aku akan mengajak Zephys untuk segera mendaki gunung agar tidak ada warga yang menyadari kehadiran kita.
Terdengar suara air terjun dari kejauhan. Bergegas aku keluar dari hutan, nampak jelas lampu dari rumah-rumah penduduk Diego dan petak sawah di kaki gunung. Seperti perhitunganku, kita akan sampai di Diego malam hari. Namun, ini terlalu larut. Memang benar tidak ada penjagaan khusus di sana. Dengan mudah aku melewatinya tanpa harus mendengar para warga yang panik ketakutan karena melihatku dan Zephys. Sebelum melewati Gunung Verno, aku ingin pergi ke air terjun terlebih dahulu untuk membersihkan diri. Memasuki Diego, melewati jalan yang sangat sepi seperti kota mati. Sekali lagi ku gunakan keahlianku agar bisa cepat sampai di air terjun.
“Aku mau mandi terlebih dahulu, nanti kita akan menaiki tebing dari air terjun ini lalu pergi ke Gunung Verno,” jelasku.
“Sambil berenang minum air, aku akan melakukannya di air terjun ini. Aku merasa haus, persediaan airku habis.”
https://www.wallpaperflare.com/waterfalls-night-nature-river-rocks-people-island-stream-wallpaper-rubj |
Mendaki akan sangat menguras tenaga, jadi aku mengisi energiku dengan ikan yang ada di bawah air terjun. Zephys yang memburu ikannya, sementara aku yang memasaknya karena aku ingat kalau dalam senjataku ada Hati Incubus yang akan membakar sesuatu yang ku kehendaki. Namun, aku tidak akan berlama-lama di sini. Setelah makan segera ku pergi menuju Gunung Verno dan mengerahkan semua keahlianku agar cepat sampai di Hutan Dagon sebelum ada elf yang melihat kita memasuki lebih dalam di teritori Afata. Gunung Verno adalah pelindung bagi rumah para elf di Hutan Elborne. “Kita harus bergegas sebelum pagi!” perintah Zephys.
Tinggi dan dingin, bisa ku lihat cahaya dari pohon kehidupan. Aku berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan malam ini, tapi Zephys mengacaukannya karena dia menabrakku. Aku terjatuh di kaki Gunung Verno.
“Haah!!”
“Idiot! Mengapa kau tiba-tiba berhenti, Nakroth!?” bentaknya.
Sembari mendaki aku menjawab, “Aku sedang menikmati pemandangan, maafkan aku karena lengah. Tak akan aku ulangi lagi.”
“Ayo fokus!”
Dia menganjurkan tangannya sebagai tanda kalau dia memaafkanku. Sungguh ini memalukan bila aku terluka parah di misi yang semudah ini tanpa peperangan. Tidak lagi aku lengah seperti itu. Tapi karena kejadian ini, kaki kiriku terkilir. Sementara aku duduk dan membiarkan Zephys mengobati kaki ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar