Senin, 13 Januari 2020

Aku Masih Manusia - Chapter 4

Nakroth – The Executioner’s Blade

(Arena of Valor fanfiction)



Kembali melanjutkan perjalanan, hingga fajar pun masih belum sampai di Hutan Dagon. Naga-naga mulai bangun, tak lama kemudian ku lihat ada elf yang menunggangi naga. Meski cukup menyakitkan, aku harus bergerak cepat agar tidak disadari oleh para elf. Saat menuruni gunung, sebuah anak panah hampir mengenaiku. Zephys menghardikku, “Cepat, Nakroth!”

 Ketika sudah sampai di hutan, aku segera naik ke atas dahan lalu bersembunyi. Sekali-kali aku memeriksa keadaan kakiku yang rasanya masih terasa sakit. Di sini aku berpencar dengan Zephys. Akan ku lakukan apapun agar misi ini tidak menimbulkan kekacauan. Saat situasi sudah hening, aku memasuki hutan semakin dalam, mulai terdengar suara-suara yang aneh. Ku datangi sumber suara itu, siapa tahu dia masih dikejar. Berjalan, berjalan semakin mendekati suara itu. Hanya tanaman yang tak bergerak. Muncul lagi suara keramaian yang benar-benar misterius. Oh, aku mengingatnya! Tanaman di sini bisa berbicara, aku memutuskan untuk bertanya saja kepada sebuah bunga.

“Selamat pagi, bunga kecil! Apa kau melihat seseorang dengan dua tombak berlarian kesana kemari?” tanyaku. Sayangnya, tidak ada jawaban dari bunga itu. Aku merasa konyol. Aku memutuskan untuk mencari Zephys nanti, bunga teratai langkanya lebih penting. Lagipula dia tak semudah itu ditangkap, bisa saja dia melawan mereka. Aku menoleh ke kanan, angin berhembus kencang menjatuhkan dedaunan pohon. Daun yang berjatuhan tersusun seperti jejak, apa bunga itu menjawabku? Ku ikuti saja daun-daun ini akan berakhir di mana.

“Oh, Zephys!” sapaku.
Dia berlari ke arahku, “Kita harus segera menemukan bunga teratai itu! Saat aku bersembunyi, aku mendengar kalau Ratu Tel’Annas sudah bangun. Setelah menemukan bunganya nanti, kita akan pergi ke Laut Mendidih.”
“Baiklah, ayo kita berangkat! T-Tapi tunggu, aku akan bertanya pada tanaman di sini.”
“Apa maksudmu?” tanya Zephys.
Aku menghiraukannya dan segera berbicara, “Wahai Hutan Dagon yang luas, tunjukkan padaku di mana bunga teratai langka yang tumbuh di tanah ini!”


Sekali lagi angin berhembus, memberi jalan menuju teratai. “Ayo, Zephys!” aku segera bergegas karena aku yakin para elf yang mengejar tadi akan memeriksa hutan ini. Mengerahkan semua keahlianku di detik-detik misi ini berakhir. Sampailah di tempat teratai itu tumbuh. Ada banyak sekali teratai, semuanya bercahaya, seolah-olah begitu sakral dan hanya orang tertentu yang bisa mengambilnya. Aku tidak peduli, sekali lagi aku memutuskan untuk mengambil lima batang.

Dikala aku mencabut bunga itu, “HAAAAAAAAAAAAAAA..!!!!!!” hutan ini berteriak begitu kencang dan terjadi gempa, aku yakin hanya di tempat ini saja yang gempa dan pastinya membawa perhatian para elf. “Kita ambil empat batang lagi dan segera kita pergi dari sini!” perintahku.

Tidak banyak berkomentar, Zephys mendapatkan dua batang sedangkan aku tiga. Segera ku menuju arah barat untuk melarikan diri. Pepohonan pun tidak memberi jalan untuk keluar dari sini, jadi aku dan Zephys cukup lama untuk keluar dari hutan. Tak jarang pula tanaman berduri menyerang ku, tak segan-segan aku memotongnya. Aku rasa hutan ini tidak mengerti kalau aku dan Zephys akan memetik bunga ini, bisa saja hutan ini diperintah dari luar. Ku lihat cahaya, semakin dekat dengan jalan keluar.

“Cepat, Nakroth!” hardik Zephys.
Keluar dari Hutan Dagon, aku melihat seekor naga yang terbang berputar-putar di atas ku. Naga itu berhenti lalu mendarat perlahan di depanku.
“Kalian baik?”
“Oh, ternyata kau, Preyta. Cepat bawa kami pergi dari sini! Aku yakin para elf akan datang kemari dan asal kau tahu saja, Tel’Annas.. sudah.. bangun,” jelas Zephys.
“Iya, kalian bergegas naik, kita akan menuju Laut Mendidih,” seru Preyta.

Seingatku, di sana ada seekor gurita raksasa yang menguasai lautnya. Mungkin gurita itu pergi karena banyak monster dan iblis dari Lokheim yang datang menggunakan Maelstorm. Aku cukup kasihan kepadanya. Tidak ada tanda-tanda pengejaran dari para elf, semoga mereka yang mengejar tadi tidak mengenalku dan Zephys.

“Di sana ada Veera,” sahut Preyta.
“Oh, benarkah?” tanya Zephys.
“Dia menunggu kalian di sana setelah mendapatkan informasi mengenai Tel’Annas.”
“Perlukah aku memanggil pasukanku untuk menyerang Afata?”
“Jangan ceroboh, tunggu saja perintah selanjutnya!”

Akhirnya, kita sampai di Laut Mendidih sore hari. Veera sedang memandang laut dengan langit jingga, dia terlihat begitu tenang, aku tak ingin mengganggunya. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak, melemaskan kakiku yang terkilir merasakan pasir pantai yang hangat.

“Bagaimana dengan kakimu?” tanya Zephys sambil memegangnya.
Sontak aku menendangnya, “Oh!”
Dia merintih, “Uhh.. a-aku yang mengobatinya, aku yang ditendang.”
“Maaf, itu terjadi tiba-tiba. Kakiku sudah cukup baik, terima kasih...”

Veera pun memalingkan diri dari laut, melihatku dan Zephys yang sudah menunggunya. “Jadi bagaimana dengan rubi dan bunganya?” pintanya. Ku keluarkan barang yang dia inginkan dan wajahnya terlihat puas. Meraba bunga yang dikeluarkan oleh Zephys, sepertinya dia menyukai yang itu. Meski dipetik yang artinya sudah tidak ada akarnya, bunga itu tetap hidup. Apa bunganya abadi?

“Ketahuilah, bunga ini bisa hidup di mana saja. Di air, tanah, di udara, membakarnya pun dia akan tetap hidup,” jelas Veera.
“Lalu apa spesialnya rubi dari Sungai Merahnya langsung?” tanyaku.
“Marja ingin memotongnya sendiri dengan kekuatannya,” jawabnya.

Dengan ini, misiku selesai. Veera memerintahkanku dan Zephys kembali ke Lokheim dengan menaiki naga Preyta. Meski perjalanannya lebih jauh dari sebelumnya tapi naga ini sangat cepat. Nanti di Lokheim, aku memutuskan untuk menantang Zephys berduel lagi. Bila aku menang, aku akan memintanya pergi ke Rosenberg untuk membelikanku kue di sana.

“Aku akan mengalahkanmu tepat saat kakiku menginjak tanah Lokheim nanti,” ucapku.
“Meh, aku merasa tidak sportif bila aku melawanmu dalam keadaan seperti itu. Jika aku menang aku tidak bangga, jika aku kalah itu akan memalukan.”
“Sudah aku bilang kakiku membaik,” jelasku.
Sembari melihat serangga Zephys menjawab, “Tapi belum sembuh total, jatuh dari ketinggian seperti itu tidak hanya memberimu luka di kaki saja. Ayolah, kau ini masih manusia!”
Aku bergumam, “Hm..”
“Jika kau ingin duel, tunggu dirimu sampai sembuh total. Sekalinya kau lengah akan seranganku, kau akan mendapat luka yang lebih parah dari ini.”
Preyta berkata, “Oh, ada yang terluka? Kalau begitu aku akan mengantar kalian ke Benteng Nightmare. Mganga tentunya bisa mengobati kalian agar cepat sembuh.”
“Hanya aku  yang terluka, tapi aku sudah sembuh, “ jawabku.
“Antarkan saja Nakroth kepada Mganga” pintanya,  “Dia berhenti secara tiba-tiba di depanku. Aku mendarat di atasnya lalu dia terjatuh dari tebing di Gunung Verno karna asyik melihat cahaya pohon kehidupan.”
“Hahaha!” Preyta menertawakanku.

Misi ini berakhir dengan baik, sempat ada kekacauan yang tidak perlu tetapi tidak sampai menimbulkan perang. Aku memulihkan diri di Benteng Nightmare, seekor hewan aneh yang bersama Mina terus memandangku. Zephys memberikan serangganya kepada Mganga yang ternyata bisa dipakai untuk obat penyembuhan lukaku. Cukup saat misi saja aku menahan rasa sakitnya, sekarang aku bisa merasakan rasa sakit itu muncul sehingga lebih baik aku beristirahat penuh. Tepat di hari saat aku sembuh total, aku akan mengalahkan Zephys.



Next >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar