Monoton, kehidupan yang sudah biasa ku lihat. Tidak
ada yang bisa aku ikuti di derasnya arus kehidupan saat ini karena aku tidak
menyukainya. Melihat sekitar, semua terlihat sama. Sekarang aku mulai kasihan
kepada mereka. Namaku Amira, aku siswi SMA yang sudah duduk di bangku kelas 12
jurusan IPS. Beberapa siswi membahas kosmetik dan film romantis, sisanya berkumpul
dengan laki-laki. Beberapa siswa bermain game bersama dan bercanda kotor,
sisanya berkumpul dengan wanita. Aku hanya sendirian duduk bersandar di bangku
paling belakang dekat jendela, merasakan angin yang berembus.
Hari ini, ketua kelas yang dipanggil telah kembali dan
mengumumkan sesuatu. Bulan Maret nanti akan diadakan kegiatan tengah semester
di dua tempat dengan harga yang berbeda. Pertama di Bali, yang kedua di Malang.
Tentunya yang Bali lebih mahal, yaitu sembilan ratus ribu. Hampir satu juta
bukan? Mayoritas kelasku adalah anak orang kaya, jadi banyak yang mendaftar ke
Bali, menyisakan sepuluh anak di kelas yang memilih ke Malang termasuk aku.
Jadi kami membentuk kelompok, masing-masing lima orang.
Beberapa hari kemudian, waktunya penarikan biaya
kegiatan tersebut. Aku membayarnya lunas tiga ratus ribu. Harganya seperti dua
bulan biayaku sekolah. Temanku dari kelas IPA, dia datang ke depan kelasku saat
istirahat dan curhat. Namanya Indah.
“Kau tahu, jika kau tidak mampu maka jangan memilih
yang mahal,” ucapnya.
“Ada apa memangnya?” tanyaku.
“Temanku di keluarga yang sederhana, tapi dia memilih
ke Bali karena banyak di kelasku memilih ke Bali.”
“Bagaimana denganmu?”
“Tentu saja ke Malang! Sembilan ratus ribu itu sangat
banyak,” jawabnya.
Seperti itulah kehidupan yang membosankan. Aku juga
ingin ke Bali tapi ada hal yang lebih penting dalam membuang uangku ini.
Dua minggu kemudian, guru datang untuk survei siapa
yang ingin pindah tujuan. Dari Malang ke Bali atau sebaliknya. Hanya beberapa
di kelasku karena tidak mampu mengikuti perjalanannya yang cukup jauh dari sini.
Mereka yang pindah tujuan juga ada yang sudah bayar lunas dan mengambil uang
mereka kembali. Teman Indah? Aku yakin dia pindah karena keterbatasan uang. Aku
hanya tinggal tunggu berita dari Indah.
“Bagaimana dengan temanmu?” tanyaku.
“Dia pindah ke Malang, satu kelompok denganku. Tidak
ada yang bisa dia lakukan. Mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu dua
minggu, aku rasa tidak mungkin untuknya!”
Syukurlah bila seperti itu, melihat ke atas terus
menerus adalah hal yang bodoh. Sesekali orang seperti itu harus melihat ke
bawah dan berhenti mengikuti arus.
“Kau tahu, dia punya ponsel baru dan sangat bangga.
Tapi ponsel itu adalah hasil kerja keras orang tuanya, dia meminta dengan
paksaan. Aku mulai tidak suka dengannya,” ujar Indah.
Apa susahnya menahan diri untuk hidup mewah bila pada
dasarnya diri ini memang tidak memiliki modal yang banyak. Siapa juga yang
tidak mau ke Bali, tapi kalau tidak ada biaya untuk ke sana ya sudahlah. Tunda
saja kesenangan di masa sekolah, aku ingin memuaskannya nanti saat aku sudah
bisa bekerja dan menikmati uangku sendiri bersama keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar